Oleh : Jaya Setiabudi
Belasan tahun yang lalu, saat
saya masih duduk di bangku kuliah di Surabaya, saya sempat mengikuti pengajian
rutin, yang dikelola oleh sebuah pondok pesantren ternama di Jawa Timur. Bukan
keilmuan agama yang akan saya bicarakan disini. Tapi ada suatu pelajaran yang
sangat berharga bagi saya tentang ‘kesombongan’! Seperti kebanyakan orang yang
baru keluar dari ‘sekolah’ dengan segudang idealisme, perilaku sayapun berubah
drastis. Setiap melihat suatu kejadian yang tidak ‘agamis’, spontan saya
‘nyebut’ kalimat Allah. Ada seorang (wanita) primadona kampus, sebut saja Susi
(bukan nama sebenarnya). Saat itu, ia sedang berpakaian seronok dan
bercengkerama mesra dengan pacarnya, yang tentu saja bukan muhrimnya. Begitu
saya melihat kejadian itu, langsung keluar dari mulut saya ”masya Allah (kata
yang sering diucap saat melihat sesuatu yang buruk)...!” Lepas dari
kesalahkaprahan saya menggunakan kata itu (harusnya untuk suatu kekaguman),
dalam hati kecil saya, terbesit anggapan bahwa ”Dia itu MAKSIAT, sedangkan saya
lebih baik dari dia”.
Suatu saat...
...Susi datang bersama
kawan-kawan yang lain (yang berjilbab), untuk belajar dengan saya guna
menghadapi ujian semester yang segera datang. Baru kali itu Susi datang belajar
ke tempat saya. Seperti biasa, pakaian Susi tergolong ketat, membuat saya
istighfar terus, (kembali lagi) sambil mencemooh dirinya di hati saya.
Pertemuan hari pertamapun selesai. Mereka berjanji akan melanjutkan belajar
dengan saya di rumah kos saya esok harinya. Bak Fahri (dalam Ayat-ayat Cinta),
Jayapun jadi idola wanita saat itu, narsis euy! Keesokan harinya, tak disangka,
Susi datang ke tempat kos saya mendahului kawan-kawan lainnya. Setelah sejenak
terdiam karena canggung, Susi berkata,”Jay, sebenarnya dari dulu aku pengin
belajar sama kamu, tapi...!” Karena penasaran, saya tanya,”Tapi kenapa?” Dengan
wajah tertunduk malu dan suara lirih ia menjawab,”Aku malu ketemu sama kamu!
Aku merasa diriku ini ’kotor’, sedangkan kamu itu ’bersih’ dan alim”.
”Astaghfirullah Al’Adziim”, saya
nyebut dalam hati dengan muka saya yang memerah, air mata yang hampir menetes.
Sejenak saya berfikir,”Seandainya saat itu Allah mencabut nyawa kita berdua,
mungkin sayalah yang pantas masuk neraka dan dia yang pantas masuk surga!” Koq
bisa begitu? Ya, karena dibalik ’baju alim’ saya, terdapat ’kotoran hati kesombongan’.
Sebaliknya, Susi yang merasa dirinya ’kotor’ tidak memiliki pikiran kotor
terhadap orang lain. Jadi menurut saya, Susilah yang lebih ’suci’ dari saya.
Bukankah semua agama mengakui
bahwa iblis, yang hampir sepanjang hidupnya taat, tidak dapat masuk surga
karena ’kesombongannya’, karena merasa dirinya lebih unggul dari makhluk Tuhan
lainnya? Sementara Nabi Adam, meskipun berbuat dosa, diijinkan masuk ke surga
karena kerendahan hatinya? Guru saya pernah memperingatkan untuk berhati-hati
terhadap suatu penyakit, yang disebut ’Tertipu oleh diri sendiri’. Penyakit ini
justru akan muncul saat kita bertambah ilmu dan bertambah amal. Tapi ilmu dan
amal itulah yang membuat kita terjerumus. Semoga kita terhindar dari hal yang
demikian!
”Daripada sibuk melihat aib orang
lain, sibuklah melihat aib sendiri!”
0 komentar:
Post a Comment